Masih adakah suami yang seperti ini ?
Suami menyerahkan gajinya kepada istri setiap bulannya, setelah itu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari uang gaji tersebut. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri.
Dan yang paling celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya. Bukankah ini sangat memberatkan istri?
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. An-Nisa’ : 34)
Masih ada saja wanita yang tidak mengerti betapa Islam meninggikan derajatnya, terutama dalam rumah tangga. Islam menjadikan seorang wanita sebagai ratu untuk suaminya.
Meskipun seorang istri harus senantiasa mematuhi dan membahagiakan suami tugas yang terkesan berat akan tetapi sebenarnya suami memiliki kewajiban yang luar biasa besar terhadap istrinya, inilah yang membuat suami memiliki hak penuh terhadap sang istri.
Hal-hal yang lazim dikatakan sebagai tugas keseharian istri, dalam Islam sesungguhnya itu adalah kewajiban suami untuk memenuhinya. Semisal berbelanja di pasar, menyediakan makanan, mencuci, berberes rumah, dll.
Bukan berarti istri tidak boleh melakukan, akan tetapi hal tersebut bukanlah kewajiban istri, dengan demikian... Suami semestinya jauh lebih menyayangi istri yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya menjadi kewajiban suami tersebut.
Sayangnya, kita sering menemukan hal aneh dalam banyak rumah tangga. Misalnya saja, suami menyerahkan gajinya kepada istri setiap bulannya, setelah itu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari uang gaji tersebut.
Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan yang paling celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya. Bukankah ini sangat memberatkan istri?
Dalam Islam, suami lah yang memiliki kewajiban untuk menafkahkan istri bahkan ada yang mengatakan sampai pada level menyuapi makanan ke mulut istri.
Lebih lengkapnya, mari kita simak langsung pendapat 5 Mazhab Fiqih tentang hal ini:
Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya.
1. Mazhab al-Hanafi
Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai’ menyebutkan : Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan untuk memasak dan mengolahnya, maka istri tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.
Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri berkata,”Saya tidak mau masak dan membuat roti”, maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.
2. Mazhab Maliki
Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya.
3. Mazhab As-Syafi’i
Di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
4. Mazhab Hanabilah
Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah.
Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.
5. Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah.
Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
Pendapat Yang Berbeda
Namun kalau kita membaca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkhidmat di luar urusan seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka.
Namun satu hal yang jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga. Artinya, istri mendapat 'upah' materi di luar uang nafkah kebutuhan bulanan.
Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus ‘menggaji’ para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga.
Demikianlah betapa Islam meninggikan wanita dalam rumah tangga, dan dengan demikian menjadi masuk akal ketika wanita dilaknat akibat tidak memenuhi hasrat biologis suaminya, saking begitu besarnya kewajiban suami dalam menafkahi istri.
Dan untuk solusi yang bisa dipertimbangkan jika ada suami yang tak mau kewajibannya membebani sang istri bisa memperhatikan hal berikut ini:
Wajibkah Suami Menyediakan Pembantu di Rumah, Karena Sandang Pangan Papan adalah Kewajiban Suami
Sebelum membahas lebih jauh, apa sih arti dari sandang, pangan dan papan ini. Sebenarnya, singkatnya sandang=pakaian, pangan=makanan, dan papan=tempat tinggal.
Ketiga-tiganya merupakan kebutuhan primer manusia, kalau sandang berupa pakaian (bahan penutup tubuh) sehingga manusia bisa mempertahankan hidupnya.
Kalau pangan adalah berupa makanan sehari-hari. Sedangkan papan adalah tempat tinggal berupa rumah, apartemen atau segala macamnya, intinya adalah tempat berlindung.
Dan ketiganya itulah menurut syariat yang disebut sebagai nafkah, jika lebih jauh lagi suami wajib memberi nafkah lahir (sandang, pangan, papan) dan nafkah batin. (Nafkah batin akan kita bahas di artikel selanjutnya).
Nah, melanjutkan hal ini sebagai kewajiban suami sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat Al Qur'an maupun hadist,
Allah berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.’’ (QS.Al-Baqarah 228)
Ibnu Katsir berkata,’’maksudnya, para istri mempunyai hak diberi nafkah oleh suaminya yang seimbang dengan hak suami yang diberikan oleh istrinya, maka hendaklah masing- masing menunaikan kewajibannya dengan cara yang makruf, dan hal itu mencakup kewajiban suami memberi nafkah istrinya, sebagaimana hak- hak lainnya .’’ (Tafsir al-Qur’anil Adhim 1/272)
Rasulullah bersabda;
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR. Muslim 2137).
Kewajiban suami menempatkan istri di rumah yang layak
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut.’’ (QS.An-Nisa’ 19)
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
"Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.’’ (QS.At-Thalaq 6)
Jika suami mampu (lihat QS.At-Thalaq 6 di atas), maka wajib baginya memenuhi kebutuhan istrinya sesuai dengan ‘urf/ adat setempat, (karena hal ini termasuk dalam QS.an-Nisa’ 19).
Suatu contoh, jika adat penduduk setempat makanan sehari- harinya adalah roti, atau jika kebiasaan mereka tidur diatas kasur dan menggunakan bantal (bukan dilantai atau beralas tikar) maka itulah yang menjadi kewajiban suami jika ia mampu.
Yang menjadi bahasan kali ini, Wajibkkah Suami Menyediakan Pembantu di Rumah, bila semua Nafkah diatas adalah kewajiban suami?
Di masyarakat kota, mempunyai pembantu rumah tangga adalah hal yang wajar. Pembantulah yang mengurus urusan rumah, mulai dari memasak, mencuci, menyetrika bahkan sampai mengurus anak.
Contohnya di kota-kota besar atau lebih jelasnya di Saudi Arabia, suatu hal yang wajar jikalau kaum muslimin di sana rata-rata memiliki pembantu rumah tangga di rumahnya.
Kalau memang urf atau kebiasaannya seperti itu, maka suami bisa dituntut menyediakan pembantu.
Sedangkan bagi wanita yang hidup di desa menganggap lumrah dan wajar mengerjakan itu semua seorang diri kecuali memang berat barulah dicarikan pembantu.
Namun asalnya wanita pedesaan menganggap semua itu memang sudah jadi kewajibannya sebagai seorang istri.
Ketika bangun pagi sudah menyajikan sarapan dan menghidangkan teh, lanjut mencuci, dan menyetrika di siang hari.
Mereka pun tahu harus momong dan mengasuh anak-anak. Namun suami tetap dituntut peran sertanya oleh wanita desa untuk meringankan bebannya.
Jadi kembali lagi pada kesanggupan suami dan juga URF/kebiasaan/adat setempat seperti pada Q.S At Thalaq ayat 6 diatas.
Semoga postingan ini bermanfaat dan menambah cinta dan penghargaan antar pasutri dalam rumah tangga.
Sumber : wajibbaca.com